PLTN
Populasi penduduk Indonesia pada 2027 diperkirakan mencapai
270 juta. Maka itu 10 tahun mendatang diperkirakan terjadi krisis energi
listrik. Untuk itu, Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) diyakini menjadi
solusi tepat mengatasi krisis tersebut.
"UGM saja menargetkan 2020 paling lambat PLTN harus
sudah masuk Indonesia. Mereka sudah mengajukan kepada presiden. Sebenernya
krisis energi sudah di depan mata, maka itu nuklir (PLTN) sebuah keniscayaan 19
tahun ke depan," ujar Deputi Kepala Bidang Teknologi Energi Nuklir
Taswanda Taryo, Bogor, Sabtu (13/9/2014).
Menurut Taswanda, Nuklir dan batu bara secara ekonomis
memang beda tipis, tapi nuklir lebih kompetitif dan lebih ramah lingkungan.
Karena energi angin maupun dan solar sell atau tenaga surya juga tidak efektif.
"Angin di sini jelas tidak ada, paling di NTB, itu pun
hanya beberapa wilayah. Tidak seperti di Belanda. Solar sell kalau di Pulau
Jawa tidak akan cukup lokasinya. Butuh tempat yang luas," ujar dia.
Selain itu, lanjut Taswanda, energi nuklir kini juga sudah
masuk energi sekuriti. Beberapa negara seperti Korea Selatan dengan kepemilikan
reaktor nuklir, lebih disegani negara lain. "Iran kan punya nuklir, negara
takut semua kan? Amerika juga. Tapi kita beda, kita terbuka."
"Kita punya nuklir, Malaysia mau macem-macem pasti
takut. Meski pun nakut-nakuti orang tidak baik. Tapi Malaysia bilang akan buat
nuklir di perbatasan Kalimantan dan Malaka, politik apa begini?" lanjut
dia.
Begitu juga dengan Uni Emirat Arab, kata Taswanda, hanya
memiliki modal uang mereka berani membangun nuklir. "Mereka benar-benar
berani hanya modal uang saja."
"Korea Selatan dulu belajar sama kita, sekarang mereka
sudah memiliki banyak reaktor. Vietnam belajar dengan kita, 2020 dia menargetkan
2 x 1000 MWe, 2030 10 x 1000 MWe," sambung Taswanda.
Politisasi
Menurut Taswanda, jika Indonesia harus memberi subsidi
mencapai Rp 150 triliun per tahun, alangkah baiknya jika dialihkan untuk
membangun PLTN. "Rp 30 triliun saja untuk PLTN 1.000 MW. Itu sudah
menghasilkan banyak listrik."
"Jadi menurut saya, ini hanya masalah politik saja.
Sebab masalahnya di mana? Soal kemanan radiasi sudah jelas-jelas aman, dari
segi manfaat lebih banyak dan green, lebih kompetitif. Jadi apa lagi?"
ujar dia heran.
Insiden meledaknya PLTN milik Jepang di Fukushima, kata
Taswanda, tidak berpengaruh di banyak negara. Justru pembangunan PLTN di
sejumlah negara malah bertambah.
"Sejak 2011 hingga 2013 terus mengalami kenaikkan
pembangunan PLTN di sejumlah negara. Pada 2011 berjumlah 65 PLTN, 2012
berjumlah 67 PLTN, 2013 berjumlah 69 PLTN," papar dia.
"Jadi memang nuklir lebih banyak dipolitisir. Kita
(Batan) kan hanya kopral, semua tergantung pimpinan. Masalahnya orang di atas
masih pahamnya PLN," sambung Taswanda.
Memang, Taswanda mengakui, di beberapa negara pembangunan
PLTN pertama menjadi kontroversi. Maka itu ia berharap pemerintahan Joko
Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) nanti dapat membangun PLTN.
"Makanya kalau pemerintah tidak bersedia, kami punya
terobosan dengan membangun PLTN mini. Tapi mudah-mudahan Pak Jokowi-JK
setuju," tandas Taswanda.
Sementara Kepala Batan Djarot Sulistyo Wisnubroto
menegaskan, meski batu bara masih cukup sebagai sumber energi di Indonesia,
namun bukan berarti energi nuklir tidak bisa dimanfaatkan.
"Maka itu tugas kami meyakinkan pemimpin masa depan,
agar tidak bergantung pada salah satu sumber energi saja. Ini barbahaya. Misal
internasional gas buang minta dikurangi sekian persen. Kedua, ubah paradigma,
revolusi mental kata Pak Jokowi," pungkas Djarot.
SUMBER
http://news.liputan6.com/read/2105010/batan-pltn-adalah-keniscayaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar