Kamis, 27 November 2014

Penduduk dan lingkungan di indonesia(penduduk dan kelaparan)

PENDUDUK DAN LINGKUNGAN Di INDONESIA
Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar ke 4 setelah Amerika Serikat, China dan India. Jumlah penduduk yang besar, wilayah yang luas, serta kondisi geografis berupa  kepulauan serta persebaran penduduk yang tidak merata menjadi permasalahan tersendiri bagi Indonesia. Jumlah penduduk di Indonesia dari tahun ke tahun bertambah pesat. Hal ini  dapat dilihat dalam kurun waktu 40 tahun (tahun 1971-2010), penduduk Indonesia bertambah sekitar 88 juta jiwa. Berdasarkan data terkini, jumlah penduduk Indonesia sebagaimana yang tercatat dalam sensus penduduk 2010 sebesar 237.641.236 jiwa (www.bps.go.id). Kondisi demikian menimbulkan beragam permasahan kependudukan seperti kemiskinan, kriminalitas, pencemaran lingkungan, keterbatasan sumberdaya alam dan masalah-masalah lainnya. Dimana sangat dibutuhkan kesadaran berbagai pihak bahwa masalah kependudukan merupakan tanggung jawab bersama. Pemerintah, Swasta serta Masyarakat sipil termasuk kelompok remaja sebagai generasi muda bangsa memiliki tanggung jawab yang sama besar.

Sebelum kita membahas gagasan mengenai cara untuk mengatasi pencemaran lingkungan yang mengakibatkan kerusakan keseimbangan lingkungan dan kelestarian alam karena tidak terkendalinya laju kependudukan ini, kita harus mengetahui terlebih dahulu apa dan bagaimana keadaan kependudukan dan lingkungan di Indonesia, pengertian dan jenis-jenis pencemaran lingkungan yang terjadi di Indonesia terkait dengan polusi yang mengusai ibu kota Jakarta, dan bencana-bencana alam yang terjadi akibat ulah manusia sendiri,faktor-faktor penyebabnya, dan cara menanggulanginya ditinjau dari berbagai pihak terkait, serta gagasan untuk mengatasinya.
PENDUDUK DAN KELAPARAN
Satu dari sebelas orang di Indonesia masih menderita kelaparan. Hal tersebut termaktub dalam laporan badan pangan dunia (FAO). Organisasi di bawah Perserikatan Bangsa-bangsa ini memetakan angka kelaparan yang masih menghantui penduduk bumi hingga tahun 2014. Dari hasil pemetaan tersebut diketahui angka kelaparan di Indonesia masih berkisar 8,7%, masih sejajar dengan negara-negara Afrika seperti Nigeria, Kamerun, Pantai gading dan Mauritania.Sedangkan negara Asia lain yang posisinya sama dengan Indonesia antara lain Cina, Thailand dan Vietnam. Posisi Indonesia masih lebih baik dibanding India, Afghanistan dan Iraq.
FAO mendefinisikan kelaparan sebagai kekurangan gizi atau asupan makanan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan diet energi, yang berlangsung setidaknya selama satu tahun. Istilah lebih tepatnya adalah kekurangan gizi kronis. Dalam hal ini, angka kelaparan menunjukkan kegagalan negara dalam menjamin makanan yang cukup bagi setiap warganya. Dalam peta kelaparan dunia, FAO mengkategorikan kelaparan dalam 5 tingkatan. Mulai dari sangat tinggi, tinggi, moderat tinggi, moderat rendah dan sangat rendah. Indonesia dalam hal ini dikategorikan sebagai moderat rendah dengan kisaran angka kelaparan 5-14,9%.
Sebenarnya hal itu bukan merupakan angka yang buruk, dibanding kebanyakan negara berkembang lain. Tapi sebagaimana tertulis dalam rencana Milenium Goal 2015, Indonesia seharusnya sudah berada pada kategori sangat rendah. Sekelas dengan negara-negara berkembang lainnya seperti Malaysia, Brasil dan Afrika Selatan. Menjelang peringatan Hari Pangan Se-dunia yang jatuh setiap tanggal 16 Oktober, FAO kembali menegaskan pentingnya peran keluarga petani dalam sistem produksi pangan. Sesuai dengan tema hari pangan tahun ini, “Pertanian keluarga: memberi makan dunia, merawat bumi”.
Peringatan Hari Pangan Dunia pada 16 Oktober tahun ini mengusung tema “Sustainable Food Systems for Food Security and Nutrition”. Tema ini memberi penekanan pada pentingnya sistem pangan berkelanjutan untuk mendukung ketahanan pangan dan gizi.

Diketahui, dalam konteks global, ketahanan pangan dan gizi masih menjadi isu penting. Organisasi Pangan Dunia (FAO) memperkirakan: dari jumlah penduduk dunia yang mencapai 7 miliar lebih, sekitar 870 juta atau 12 persen di antaranya menderita kekurangan pangan kronik (chronic undernourishment) atau kelaparan pada 2010-2012. Sementara itu, dalam soal gizi, pada 2011 sekitar 101 juta anak usia di bawah lima tahun (balita) di berbagai belahan dunia mengalami kekurangan berat badan (underweight), 165 juta mengalami hambatan pertumbuhan atau kekerdilan (stunting), dan 52 juta mengalamai penyusutan (wasting) karena kekurangan gizi (undernutrition) (Unicef, 2013).
Di tengah berbagai kemajuan pembangunan ekonomi yang telah direngkuh, yang tecermin, antara lain, melalui pertumbuhan ekonomi yang mengesankan dan pendapatan masyarakat yang terus meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun belakangan ini, akses terhadap pangan yang mencukupi ternyata masih menjadi persoalan pelik bagi puluhan juta penduduk negeri ini. Betapa tidak, sekitar 21 juta atau 8,6 persen orang Indonesia mengalami kelaparan pada 2010-2012 (FAO, 2012). Sementara itu, data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada Juli lalu menyebutkan, sekitar 28,07 juta (11,37 persen) penduduk miskin negeri ini tak mampu memenuhi kebutuhan dasar makanan sebesar 2.100 kilo kalori per hari.

Kekurangan gizi juga masih menjadi persoalan serius. Secara global, Indonesia merupakan salah satu kontributor utama prevelensi kekurangan berat, kekerdilan, dan penyusutan pada balita. Bahkan, Indonesia, boleh dibilang, yang terburuk dalam persoalan ini di kawasan Asia Tenggara (Indonesia Economic Querterly, Juli 2013). Menurut laporan yang berjudul Improving Child Nutrition: The achievable imperative for global progress yang dipublikasikan oleh United Nation of Children’s Fund (Unicef) pada April 2013, Indonesia menempati peringkat kelima dengan kasus kekerdilan terbanyak, dan peringkat keempat dengan kasus penyusutan terbanyak dari 88 negara di dunia.

Bayangkan, pada 2011, Unicef memperkirakan ada sekitar 7,5 juta balita di negeri ini yang mengalami hambatan pertumbuhan sehingga tampak kerdil atau memiliki tinggi kurang dari harapan di usianya. Angka ini menunjukkan, sekitar 4,5 persen prevalensi kekerdilan pada balita di seluruh dunia terjadi di Indonesia. Sementara itu, sekitar 5,4 persen prevalensi penyusutan pada balita secara global juga terjadi di Indonesia. Ditaksir, sekitar 2,8 juta balita di negeri ini mengalami penyusutan sehingga tampak kurus karena memiliki berat kurang dari harapan sesuai tinggi di usianya.

Tak membikin heran bila angka kematian balita di Indonesia masih relatif tinggi. Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia yang dilaksanakan BPS pada 2012 menyebutkan, angka kematian balita di Indonesia mencapai 40 kematian per 1.000 kelahiran hidup. Diketahui, sekitar 45 persen kasus kematian balita secara global disebabkan oleh kekurangan gizi. Ini karuan saja merupakan peringatan bagi Indonesia yang saat ini tengah menikmati bonus demografi berupa kelimpahan penduduk usia produktif. Jutaan balita dengan gizi yang buruk dan gangguan pertumbuhan merupakan persoalan serius di masa mendatang. Hal ini tak hanya mengancam kapabilitas tenaga kerja atau penduduk usia produktif Indonesia, tapi juga bakal mengikis pertumbuhan ekonomi dan memperberat tantangan pemerintah dalam mereduksi kemiskinan. Selain itu, balita dengan gangguan partumbuhan berpotensi menderita berbagai penyakit tak menular (non-communicable diseases) ketika dewasa sehingga bakal meningkatkan biaya kesehatan yang mesti dikeluarkan pemerintah di masa mendatang.

Karena itu, kecukupan pangan dan gizi bagi 250 juta penduduk negeri ini, utamanya kelompok miskin, sudah semestinya menjadi prioritas pemerintah. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan telah menegaskan bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia. Dengan demikian, negara berkewajiban mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang bagi seluruh penduduk.
Tentu kenyataan yang sulit diterima bila pada 2011 saja defisit perdagangan tujuh komoditas pangan utama (beras, jagung, gandum, kedelai, gula, susu, dan daging) dari sebuah negara yang katanya agraris telah mencapai USD9,5 miliar. Bahkan, besarnya defisit bakal kian menganga bila defisit perdagangan produk sayur-sayuran dan buah-buahan yang mencapai USD37 miliar juga ikut diperhitungkan (BPS, 2011). Padahal, Indonesia—dengan luas daratan mencapai 188,2 juta hektar—diberkahi dengan keseburan tanah yang melegenda. Di negeri ini, tongkat dan kayu pun bisa jadi tanaman.Untuk itu, sinyalemen bakal urung tercapainya swasembada pada sejumlah komoditas pangan strategis, seperti gula, jagung, kedelai, dan daging sapi pada 2014 harus disikapi serius oleh pemerintah. Meski berat, ini merupakan pekerjaan rumah yang harus dituntaskan. Apa gunanya kebutuhan pangan tercukupi lagi murah bila tanpa kemandirian dan kedaulatan, karena sebagian besarnya harus diimpor dari negara lain.
Sumber

http://alamtani.com/aktual/satu-dari-11-orang-indonesia-kelaparan.htmll

Tidak ada komentar:

Posting Komentar