PENDUDUK DAN
LINGKUNGAN Di INDONESIA
Indonesia merupakan negara dengan
jumlah penduduk terbesar ke 4 setelah Amerika Serikat, China dan India. Jumlah
penduduk yang besar, wilayah yang luas, serta kondisi geografis berupa kepulauan serta persebaran penduduk yang
tidak merata menjadi permasalahan tersendiri bagi Indonesia. Jumlah penduduk di
Indonesia dari tahun ke tahun bertambah pesat. Hal ini dapat dilihat dalam kurun waktu 40 tahun
(tahun 1971-2010), penduduk Indonesia bertambah sekitar 88 juta jiwa.
Berdasarkan data terkini, jumlah penduduk Indonesia sebagaimana yang tercatat
dalam sensus penduduk 2010 sebesar 237.641.236 jiwa (www.bps.go.id). Kondisi
demikian menimbulkan beragam permasahan kependudukan seperti kemiskinan,
kriminalitas, pencemaran lingkungan, keterbatasan sumberdaya alam dan
masalah-masalah lainnya. Dimana sangat dibutuhkan kesadaran berbagai pihak
bahwa masalah kependudukan merupakan tanggung jawab bersama. Pemerintah, Swasta
serta Masyarakat sipil termasuk kelompok remaja sebagai generasi muda bangsa
memiliki tanggung jawab yang sama besar.
Sebelum kita membahas gagasan
mengenai cara untuk mengatasi pencemaran lingkungan yang mengakibatkan
kerusakan keseimbangan lingkungan dan kelestarian alam karena tidak
terkendalinya laju kependudukan ini, kita harus mengetahui terlebih dahulu apa
dan bagaimana keadaan kependudukan dan lingkungan di Indonesia, pengertian dan
jenis-jenis pencemaran lingkungan yang terjadi di Indonesia terkait dengan
polusi yang mengusai ibu kota Jakarta, dan bencana-bencana alam yang terjadi
akibat ulah manusia sendiri,faktor-faktor penyebabnya, dan cara
menanggulanginya ditinjau dari berbagai pihak terkait, serta gagasan untuk
mengatasinya.
PENDUDUK DAN
KELAPARAN
Satu dari sebelas orang di Indonesia
masih menderita kelaparan. Hal tersebut termaktub dalam laporan badan pangan
dunia (FAO). Organisasi di bawah Perserikatan Bangsa-bangsa ini memetakan angka
kelaparan yang masih menghantui penduduk bumi hingga tahun 2014. Dari hasil
pemetaan tersebut diketahui angka kelaparan di Indonesia masih berkisar 8,7%,
masih sejajar dengan negara-negara Afrika seperti Nigeria, Kamerun, Pantai
gading dan Mauritania.Sedangkan negara Asia lain yang posisinya sama dengan
Indonesia antara lain Cina, Thailand dan Vietnam. Posisi Indonesia masih lebih
baik dibanding India, Afghanistan dan Iraq.
FAO mendefinisikan kelaparan
sebagai kekurangan gizi atau asupan makanan tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan diet energi, yang berlangsung setidaknya selama satu tahun. Istilah
lebih tepatnya adalah kekurangan gizi kronis. Dalam hal ini, angka kelaparan
menunjukkan kegagalan negara dalam menjamin makanan yang cukup bagi setiap
warganya. Dalam peta kelaparan dunia, FAO mengkategorikan kelaparan dalam 5
tingkatan. Mulai dari sangat tinggi, tinggi, moderat tinggi, moderat rendah dan
sangat rendah. Indonesia dalam hal ini dikategorikan sebagai moderat rendah
dengan kisaran angka kelaparan 5-14,9%.
Sebenarnya hal itu bukan merupakan angka yang buruk,
dibanding kebanyakan negara berkembang lain. Tapi sebagaimana tertulis dalam
rencana Milenium Goal 2015, Indonesia seharusnya sudah berada pada kategori
sangat rendah. Sekelas dengan negara-negara berkembang lainnya seperti Malaysia,
Brasil dan Afrika Selatan. Menjelang peringatan Hari Pangan Se-dunia yang jatuh
setiap tanggal 16 Oktober, FAO kembali menegaskan pentingnya peran keluarga
petani dalam sistem produksi pangan. Sesuai dengan tema hari pangan tahun ini,
“Pertanian keluarga: memberi makan dunia, merawat bumi”.
Peringatan Hari Pangan Dunia pada
16 Oktober tahun ini mengusung tema “Sustainable Food Systems for Food Security
and Nutrition”. Tema ini memberi penekanan pada pentingnya sistem pangan
berkelanjutan untuk mendukung ketahanan pangan dan gizi.
Diketahui, dalam konteks global,
ketahanan pangan dan gizi masih menjadi isu penting. Organisasi Pangan Dunia
(FAO) memperkirakan: dari jumlah penduduk dunia yang mencapai 7 miliar lebih,
sekitar 870 juta atau 12 persen di antaranya menderita kekurangan pangan kronik
(chronic undernourishment) atau kelaparan pada 2010-2012. Sementara itu, dalam
soal gizi, pada 2011 sekitar 101 juta anak usia di bawah lima tahun (balita) di
berbagai belahan dunia mengalami kekurangan berat badan (underweight), 165 juta
mengalami hambatan pertumbuhan atau kekerdilan (stunting), dan 52 juta
mengalamai penyusutan (wasting) karena kekurangan gizi (undernutrition)
(Unicef, 2013).
Di tengah berbagai kemajuan
pembangunan ekonomi yang telah direngkuh, yang tecermin, antara lain, melalui
pertumbuhan ekonomi yang mengesankan dan pendapatan masyarakat yang terus
meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun belakangan ini, akses terhadap
pangan yang mencukupi ternyata masih menjadi persoalan pelik bagi puluhan juta
penduduk negeri ini. Betapa tidak, sekitar 21 juta atau 8,6 persen orang
Indonesia mengalami kelaparan pada 2010-2012 (FAO, 2012). Sementara itu, data
yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada Juli lalu menyebutkan, sekitar
28,07 juta (11,37 persen) penduduk miskin negeri ini tak mampu memenuhi
kebutuhan dasar makanan sebesar 2.100 kilo kalori per hari.
Kekurangan gizi juga masih
menjadi persoalan serius. Secara global, Indonesia merupakan salah satu
kontributor utama prevelensi kekurangan berat, kekerdilan, dan penyusutan pada
balita. Bahkan, Indonesia, boleh dibilang, yang terburuk dalam persoalan ini di
kawasan Asia Tenggara (Indonesia Economic Querterly, Juli 2013). Menurut
laporan yang berjudul Improving Child Nutrition: The achievable imperative for
global progress yang dipublikasikan oleh United Nation of Children’s Fund
(Unicef) pada April 2013, Indonesia menempati peringkat kelima dengan kasus
kekerdilan terbanyak, dan peringkat keempat dengan kasus penyusutan terbanyak
dari 88 negara di dunia.
Bayangkan, pada 2011, Unicef
memperkirakan ada sekitar 7,5 juta balita di negeri ini yang mengalami hambatan
pertumbuhan sehingga tampak kerdil atau memiliki tinggi kurang dari harapan di
usianya. Angka ini menunjukkan, sekitar 4,5 persen prevalensi kekerdilan pada
balita di seluruh dunia terjadi di Indonesia. Sementara itu, sekitar 5,4 persen
prevalensi penyusutan pada balita secara global juga terjadi di Indonesia.
Ditaksir, sekitar 2,8 juta balita di negeri ini mengalami penyusutan sehingga
tampak kurus karena memiliki berat kurang dari harapan sesuai tinggi di
usianya.
Tak membikin heran bila angka
kematian balita di Indonesia masih relatif tinggi. Hasil Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia yang dilaksanakan BPS pada 2012 menyebutkan, angka kematian
balita di Indonesia mencapai 40 kematian per 1.000 kelahiran hidup. Diketahui,
sekitar 45 persen kasus kematian balita secara global disebabkan oleh
kekurangan gizi. Ini karuan saja merupakan peringatan bagi Indonesia yang saat
ini tengah menikmati bonus demografi berupa kelimpahan penduduk usia produktif.
Jutaan balita dengan gizi yang buruk dan gangguan pertumbuhan merupakan
persoalan serius di masa mendatang. Hal ini tak hanya mengancam kapabilitas
tenaga kerja atau penduduk usia produktif Indonesia, tapi juga bakal mengikis
pertumbuhan ekonomi dan memperberat tantangan pemerintah dalam mereduksi
kemiskinan. Selain itu, balita dengan gangguan partumbuhan berpotensi menderita
berbagai penyakit tak menular (non-communicable diseases) ketika dewasa
sehingga bakal meningkatkan biaya kesehatan yang mesti dikeluarkan pemerintah
di masa mendatang.
Karena itu, kecukupan pangan dan
gizi bagi 250 juta penduduk negeri ini, utamanya kelompok miskin, sudah
semestinya menjadi prioritas pemerintah. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012
tentang Pangan telah menegaskan bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia
paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia. Dengan
demikian, negara berkewajiban mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan, dan
pemenuhan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang bagi
seluruh penduduk.
Tentu kenyataan yang sulit
diterima bila pada 2011 saja defisit perdagangan tujuh komoditas pangan utama
(beras, jagung, gandum, kedelai, gula, susu, dan daging) dari sebuah negara
yang katanya agraris telah mencapai USD9,5 miliar. Bahkan, besarnya defisit
bakal kian menganga bila defisit perdagangan produk sayur-sayuran dan
buah-buahan yang mencapai USD37 miliar juga ikut diperhitungkan (BPS, 2011).
Padahal, Indonesia—dengan luas daratan mencapai 188,2 juta hektar—diberkahi
dengan keseburan tanah yang melegenda. Di negeri ini, tongkat dan kayu pun bisa
jadi tanaman.Untuk itu, sinyalemen bakal urung tercapainya swasembada pada
sejumlah komoditas pangan strategis, seperti gula, jagung, kedelai, dan daging
sapi pada 2014 harus disikapi serius oleh pemerintah. Meski berat, ini
merupakan pekerjaan rumah yang harus dituntaskan. Apa gunanya kebutuhan pangan
tercukupi lagi murah bila tanpa kemandirian dan kedaulatan, karena sebagian
besarnya harus diimpor dari negara lain.
Sumber
http://alamtani.com/aktual/satu-dari-11-orang-indonesia-kelaparan.htmll
Tidak ada komentar:
Posting Komentar